PEREMPUAN PEJUANG YANG TANGGUH (Refleksi: Kritis Terhadap Perempuan West Papua)
Oleh: Maiton Gurik
PEREMPUAN terkadang dianggap sebagai kaum lemah bila dibandingkan dengan laki-laki. Namun, tak jarang perempuan mampu menunjukkan ketangguhan dan kekuatannya saat dibutuhkan. Pada jaman dulu perempuan hanya disiapkan sebagai calon istri, kini perannya meningkat sebagai agen perubahan dalam masyarakat dan bangsanya.
Misalnya; ‘sosok Sulami seorang perempuan tua meninggal pada 10 Oktober 2002. Harian Kompas membuat beritanya, 10 Oktober 2002, dalam sebuah kolom kecil dihalaman 10; “Sulami Djoyoprawiro Meninggal Dunia”. Di katakan dalam berita itu bahwa Ny.Sulami, tokoh pergerakan perempuan Indonesia, meninggal dalam usia 76 tahun, karena serangan stroke, menyusul berbagai komplikasi lainnya. Tokoh Sulami, sejak zaman Belanda, aktif di pergerakan perempuan. Saat agresi II, ia membantu TNI melawan Belanda. Pada tahun 1958, Sulami menjadi wakil Indonesia dalam kongres perempuan se-dunia di Wina. Sulami menjadi buron setelah peristiwa G30S. Ia ditangkap setelah 15 bulan berpindah-pindah tempat di Jakarta, dan kemudian diinterogasi dimarkas tentara Bukit Duri Jakarta. Sulami baru diadili tahun 1975. Ia dipenjara selama dua puluh tahun potong masa tahanan dirumah tahanan perempuan di Tanggerang. Sulami bebas bersyarat tahun 1984. Dia menolak gerakan karena tak bersalah. Sekeluar dari penjara, Ny.Sulami aktif sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966…”. (Sumber Bacaan: Perempuan Multikultural ‘Negosiasi Dan Representasi’; Edi & Miftahus.hal.129-130).
Di negeri Pakistan punya Malala Yousafzai yang bermimpi sekolah setinggi-tingginya pada dasarnya tak berbeda dari gadis Pakistan kebanyakan. Suatu hal yang membedakan; insiden pada 9 Oktober 2012, tepat hari ini 7 tahun lalu. Kala itu peluruh pasukan Taliban menyasar kepala Malala yang hendak pulang ke rumah dengan naik bus. Peristiwa tersebut mengubah nasib Malala dari gadis Pakistan yang mengkampanyekan akses pendidikan menjadi duta perdamaian internasional. Bagi Taliban, perempuan terpelajar lebih berbahaya dibanding serangan rudal atau bom. Dan Malala sedang mewujudkan ketakutan Taliban. Sejak awal 2009, Malala rajin menulis untuk BBC Urdu dengan identitas yang disamarkan. Dalam tulisannya, Malala mengambarkan bagaimana Taliban membuat aturan sewenang-wenang; membatasi akses DVD hingga menutupi sekolah bagi perempuan. Malala pun berani tampil dipublik saat mengutarakan kegelisahannya dalam pidato berjudul “How Dare the Taliban Take Away My Basic Right to Education?”(Beranikah Taliban Merampas Hak Dasarku Untuk Meraih Pendidikan)? Diusia yang baru 11 tahun. Nyawa Malala pun jadi incaran Taliban. Tak lama berselang, Malala tampil dipanggung PBB dan menyampaikan pidato yang menggugah. Taliban merasa peluru mampu membungkam kita. Tapi mereka gagal.’ tutur Malala.” (sumber bacaan: tirtoid. artikel. Faisal Irfani. 09/10/2019).
Ada pula sosok, Ieshia Evans berjalan ke tengah jalan menghadang barisan polisi huru-hara yang semakin maju menekan para demontrans. Demonstrasi tersebut menuntut diungkapnya kasus kematian Alton Sterling, seorang pria kulit hitam yang tewas ditembak polisi di Louisiana, Amerika Serikat. Iesha kemudian ditangkap dan dipenjara. Tatapan serta postur Iesha saat ditangkap dianggap ikonik, sangat berbeda dengan adegan penangkapan polisi yang umumnya terjadi. Memperjuangkan anti-rasisme, sejak remaja Iesha mengaku beberapa kali menerima tindakan yang menurutnya rasis dari aparat kepolisian. Maraknya penembakan dan penganiayaan orang kulit hitam di Amerika oleh kepolisian diluar prosedur memunculkan protes keras atas tindakan melanggar hukum tersebut. Protes itu bernama: “Black Lives Matter” atau bisa diterjemahkan sebagai “hidupnya orang kulit hitam itu berharga”. Iesha Evans adalah satu dari banyaknya perempuan pemberani yang jadi peserta protes “Balck Lives Matter” di Baton Rouge, Amerika Serikat pada 2016. Ia tahu bahwa sebagai warga kulit hitam di Amerika, barangkali ia akan berakhir dibunuh juga. Tapi ia memilih berdiri dengan anggung didepan polisi yang bisa kapan saja memuntahkan peluruhnya. Kebaraniannya melipat gandakan perjuangan warga kulit hitam dalam memperolah haknya sebagai warga negara yang patut dilindungi di Amerika Serikat. (Sumber bacaan: theasianparent. 26/11/2016)
Sulami, Malala dan Iesha mewakili perempuan pejuang yang mengambarkan sebagai sosok perempuan tangguh yang tak pernah menyerah dalam memperjuangan nasib masa depan rakyat, bangsa dan tanah air.
Bagaimana dengan perempuan West Papua hari ini? Seperti apa perjuangan perempuan West Papua terhadap tanah air? Seberapa besar kepekaan terhadap tanah air? Berapa banyak Perempuan West Papua yang pasang badan untuk bangsa dan tanah airnya? Berjuang dibidang apa? Berjuang untuk siapa, pribadi ataukah kepentingan tanah air West Papua? Adakah tidak, ketiga sosok perempuan seperti, Sulami, Malala dan Iesha? Ataukah perempuan West Papua hanya diam seribu bahasa melihat dan menghafal kekerasan masa lalu yang keji dimana, perempuan Biak disiska, dicabuli, diperkosa dan dibunuh oleh Kolonial Indonesia melalui tangan TNI pada tahun 1998 itu? Ataukah perempuan West Papua hanya cuman mengurusi sebagai seorang pekerja rumah tangga? Atau hanya sebagai seorang istri yang hanya sibuk melayani suami sambil mengurus dapur dan keluarga?
Pertanyaan-pertanyaan diatas, penulis tidak akan menjawab secara teratur dan terinci disini. Silahkan, jawab sendiri bagi perempuan West Papua hari ini, sebagai bentuk refleksi kritis terhadap pergerakan kebebasan bagi West Papua.
Melihat dari dinamika persoalan West Papua kekinian. Suara perempuan West Papua seolah tidak ada dan sepi diruang-ruang publik. Ada itupun tidak setangguh Sulami, Malala dan Iesha. Penulis tidak bermaksud membanding- bandingkan perempuan West Papua itu begini atau begitu. Bagi penulis itu tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah komitmen dan kontribusi perempuan West Papua terhadap masalah West Papua yang begitu kompleks dan tidak pernah ada jalan keluar ini, minimal ada suara-suara latang datang menentang sistem kolonialisme pemerintah Indonesia yang penuh tidak ada harapan untuk rakyat West Papua ini. Sebab, masalah West Papua kompleks, padat, keji, kejam, menyakitkan, dan ancaman serius bagi rakyat West Papua. Karena itu, mau mengakhiri semua persoalan dan kekerasan ini, tidak hanya bisa kita handalkan sosok Mama Joseppha Alomang sendirian berjuang membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT Freeport Indonesia atau kita tidak bisa handalkan sosok Ice Murib yang ikut ambil bagian dalam memperjuangan nasib masa depan West Papua bersama ULMWP, atau sosok Veronika Koman yang bukan berdarah West Papua yang kini telanjang pasang badan hanya demi harkat dan martabat kemanusiaan rakyat West Papua didunia Internasional, atau sosok Rode Wanimbo dan kawan-kawan yang bangun kesadaran melalui gerakan literasi, ada Ester Haluk yang Gereja KIGMI punya untuk West Papua bersuara dimana- mana, ada sosok muda Yhokee Fele yang gabung jurus dengan Gempar Papua dan bangun kesadaran dengan jalan diskusi, adapula perempuan militan yang KNPB punya ikut turut diam-diam bersuara dijalan raya dengan cara demonstrasi dan mungkin masih banyak perempuan West Papua yang diam dalam perjuangan yang penulis tidak bisa sebut satu persatu disini.
Karena itu, hari ini butuh perempuan West Papua yang selalu berada di garda paling depan dalam era perubahan, karenanya, adalah suatu hal yang mustahil bila setiap perubahan besar yang tanpa ada peran perempuan West Papua. West Papua adalah negeri yang indah dan kaya, yang tengah sakit, membebaskan Papua dari derita panjangnya tidak cukup hanya dengan mengenali penyakitnya saja, tanpa mencari dan menemukan obatnya, tidak bisa pula hanya bermodal keinginan untuk menolong West Papua, tapi sang penolong dan pembebasnya tidak memiliki kemapanan diri dan semangat persatuan yang berkobar-kobar, sebab itulah modal yang harus dimiliki oleh para penolong dan pembaharu West Papua.
Perempuan West Papua merupakan salah satu komponen penting yang sangat menentukan arah kebebasan bagi West Papua kedepan, bentuk dan pola gerakan pembaharuan bumi West Papua, serta masa depan West Papua dengan NKRI tentu sangat ditentukan juga oleh peran perempuan West Papua. Apapun rumusnya, tetap dalam bingkai NKRI atau lepas dari NKRI, West Papua sepenuhnya tidak terlepas dari nadi dan semangat tarung perempuan West Papua. Tentu Perempuan West Papua, yang mampu melakukan itu adalah Perempuan West Papua yang berkualitas, kritis, berani dan intelektual, bukan Perempuan West Papua recehan, bukan Perempuan West Papua kacangan, bukan Perempuan West Papua karbitan, yang hanya foya-foya dan enggan untuk belajar dan menempa dirinya menjadi berkualitas. Tetapi perempuan West Papua yang berkualitas tinggi, sehingga tidak gagap konsep dalam menawarkan gagasan-gagasan progresif bahkan radikal dalam memperjuangkan kebebasan bagi West Papua. West Papua butuh ratusan bahkan ribuan perempuan West Papua yang sadar akan tanggungjawab kebebasan itu, West Papua butuh ratusan bahkan ribuan perempuan West Papua yang mampu membantu perjuangan Veronika Koman, Ice Murib, Mama Joseppha Alomang, Rode Wanimbo, Ester Haluk, Yhokee Fele dan martir- martir Perempuan West Papua lainnya yang mengangkat dan membebaskan West Papua dari kekerasan, penindasan, pemerkosaan, pembunuhan dan ketidakadilan yang berkepanjangan terjadi di West Papua.
I Love You So Much Woman's West Papua.
Jayapura, 25 November 2022.
Penulis: Penjual Buku-buku Papua